SEJARAH KEBUDAYAAN ACEH
Indonesia
adalah salah satu negara yang memiliki suku dan budaya yang beraneka
ragam. Masing-masing budaya daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh kebudayaan daerah lain maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia.
Salah satu kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Aceh. Sejarah dan
perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog
seperti Snouck Hurgronje. Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki
budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak
dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis
karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur
Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri.
Suku
bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan
Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan
orang Indonesia yang berada di lain wilayah. Sistem kemasyarakatan suku
bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah
bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan
masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian
dari sistem kekerabatan.
Agama
Islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh
mendapat julukan ”Serambi Mekah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal
gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya. Tetapi pada saat-saat sekarang
ini upacara ceremonial yang besar-besaran hanya sebagai simbol sehingga
inti dari upacara tersebut tidak tercapai. Pergeseran nilai kebudayaan
tersebut terjadi karena penjajahan dan fakttor lainnya.
Dari
hal-hal yang telah diuraikan diatas menurut saya menarik, maka saya
mengangkat makalah ini dengan judul ”Kebudayaan Suku Aceh”.
A. LETAK
Kelompok
etnik Aceh adalah salah satu kelompok "asal" di daerah Aceh yang kini
merupakan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Orang Aceh yang biasa
menyebut dirinya Ureueng Aceh, menurut sensus penduduk tahun 1990
mencatat jumlah sebesar 3.415.393 jiwa, dimana orang Aceh tentunya
merupakan kelompok mayoritas. Orang Aceh merupakan penduduk asli yang
tersebar populasinya di Daerah Istimewa Aceh. Mereka mendiami
daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie,
Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Selatan, dan Aceh Barat. Bahasa yang
digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia
yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh
Besar, Meulaboh, serta Matang. Di Propinsi D.I. Aceh terdapat pula
sedikitnya tujuh sukubangsa lainnya, yaitu : Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk
Jamee, Simeuleu, Kluet, dan Gumbok Cadek. Identitas bersama berdasarkan
ikatan kebudayaan dan agama mencerminkan kesatuan suku-suku bangsa di
propinsi ini. Dalam pergaulan antarsuku bangsa jarang sekali penduduk
asli Aceh menyebut dirinya orang Gayo, Alas, Tamiang, dan seterusnya.
Mereka lebih suka menyebut diri sebagai "Orang Aceh", sehingga Aceh
patut dipandang sebagai suatu sukubangsa besar yang didukung oleh
sejumlah sub-sukubangsa dengan identitas masing-masing. Ciri-ciri ini
pula yang mengukuhkan propinsi Aceh sebagai Daerah Istimewa.
B. KEHIDUPAN MASYARAKAT
1. Mata Pencaharian
Mata
pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan ladang, dengan
tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan lain-lain.
Masyarakat yang bermukim_ di sepanjang pantai pada umumnya menjadi
nelayan.
Sebagian
besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau ladang, terutama
yang bermukim di kampung (kute). Tanam Alas merupakan lumbung padi di
Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu penduduk beternak kuda, kerbau,
sapi, dan kambing, untuk dijual atau dipekerjakan di sawah.
Mata
pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah, berkebun, dan
berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah
pantai. Di samping itu ada yang melakukan kegiatan berdagang secara
tetap (baniago), salah satunya dengan cara menjajakan barang dagangan
dari kampung ke kampung (penggaleh). Matapencaharian pada masyarakat Gayo yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi.
Matapencaharian
utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di sawah atau di ladang.
Penduduk yang berdiam di daerah pantai menangkap ikan dan membuat aran
dari pohon bakau. Adapula yang menjadi buruh perkebunan atau pedagang.
2. Sistem Kekerabatan
Dalam
sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga
inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah
bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama
beberapa waktu. Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Pada
orang Alas garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal atau
menurut garis keturunan laki-laki. Sistem perkawinan yang berlaku
adalah eksogami merge, yaitu mencari jodoh dari luar merge sendiri. Adat
menetap sesudah menikah yang berlaku bersifat virilokal, yang terpusat
di kediaman keluarga pihak laki-laki. Gabungan dari beberapa keluarga
luas disebut tumpuk. Kemudian beberapa tumpuk bergabung membentuk suatu
federasi adat yang disebut belah (paroh masyarakat).
Dalam
sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya
Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip
bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal
(tinggal dalam lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah
mempunyai kedudukan yang kuat dalam hal pewarisan dan perwalian,
sedangkan ninik mamak berasal dari kerabat pihak ibu. Kelompok
kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang disebut rumah
tanggo. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai kewajiban
memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang utama
adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
Pada
masyarakat gayo, garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip
patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah
eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal
(juelen) atau matriokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut
saraine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara
dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah
rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang
bergabung ke dalam satu belah (klen).
Dalam
sistem kekerabatan masyarakat Tamiang digunakan prinsip patrilineal,
yaitu menarik garis keturunan berdasarkan garislaki-laki. Adat menetap
sesudah nikah yang umum dilakukan adalah adat matrilokal, yaitu
bertempat tinggal di lingkungan kerabat wanita.
3. Sistem Pelapisan Sosial
Pada
masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di
antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan,
golongan uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa.
Golongan keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang
pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah
ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang
adalah orang-orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai
daerah-daerah kecil di bawah kerajaan. Biasanya mereka bergelar Teuku.
Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku atau
Tengku.
Pada
masa lalu orang Aneuk Jamee dibedakan atas tiga lapisan masyarakat,
yaitu golongan datuk sebagai lapisan atas; golongan hulubalang dan
ulama, yang terdiri atas tuangku, imam, dan kadi sebagai lapisan
menengah; dan rakyat biasa sebagai lapisan bawah. Sekarang ini sistem
pelapisan sosial tersebut sudah tidak diberlakukan lagi dalam
masyarakat. Yang kini dianggap sebagai orang terpandang adalah orang
kaya, terdidik, dan pemegang kekuasaan.
Pada
masa masyarakat Tamiang dikenal penggolongan masyarakat atas tiga
lapisan sosial, yakni ughang bangsawan, ughang patoot, dan ughang
bepake. Golongan pertama terdiri atas raja beserta keturunannya. yang
menggunakan gelar Tengku untuk laki-laki dan Wan untuk perempuan;
golongan kedua adalah orangÂorang yang memperoleh hak dan kekuasaan
tertentu dari raja, yang memperoleh gelar Orang (Kaya); dan golongan
ketiga merupakan golongan orang kebanyakan.
C. SISTEM KEMASYARAKATAN
Bentuk
kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau
desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap
gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang imeum
meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang dipimpin
oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan.
Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh
pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib,
tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
Pada
masa lalu Tanah Alas terbagi atas dua daerah kekuasaan yang dipimpin
oleh dua orang kejerun, yaitu daerah Kejerun Batu Mbulan dan daerah
Kejerun Bambel. Kejerun dibantu oleh seorang wakil yang disebut Raje
Mude, dan empat unsur pimpinan yang disebut Raje Berempat. Setiap unsur
pimpinan Raje Berempat membawahi beberapa kampung atau desa (Kute),
sedangkan masing-masing kute dipimpin oleh seorang Pengulu. Suatu kute biasanya dihuni oleh satu atau beberapa klen (merge). Masing-masing keluarga luas menghuni sebuah rumah panjanga.
Masyarakat
Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong
dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut
kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional
berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari : reje,
petue, imeum, dan sawudere. Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman
merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri
atas: gecik, wakil gecik, imeum, dan cerdik pandai yang mewakili
rakyat.
D. RELIGI
Aceh
termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh
sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya
"pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari
mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh
tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat
mendapat pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian
kebudayaan hasil akulturasi tersebut melahirkan corak kebudayaan
Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut masih terdapat
sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.
E. BAHASA
Bahasa yang digunakan orang Aceh termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, antara lain dialek Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.
Sebagai
alat komunikasi sehari-hari orang Alas menggunakan bahasa sendiri,
yaitu bahasa Alas. Penggunaan bahasa ini dibedakan atas beberapa dialek,
seperti dialek Hulu, dialek Tengah, dan dialek Hilir. Dengan demikian
orang Alas dibedakan berdasarkan penggunaan dialek bahasa tersebut.
Dilihat
dari segi bahasa, kosa kata bahasa Aneuk Jamee yang berasal dari bahasa
Minangkabau lebih dominasi daripada kosa kata bahasa Aceh. Penggunaan
bahasa Aneuk Jamee dibedakan atas beberapa dialek, antara lain dialek
Samadua dan dialek Tapak Tuan.
Bahasa
Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayo
dibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Laut yang terbagi
lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret, dan dialek Gayo Luwes yang
meliputi sub-dialek Luwes, Kalul, dan Serbejadi.
Orang
Tamiang memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Tamiang, yang kebanyakan
kosa katanya mirip dengan bahasa melayu. Bahkan ada yang mengatakan,
bahwa bahasa Tamiang merupakan salah satu dialek dari bahasa Melayu.
Bahasa Tamiang ditandai oleh mengucapkan huruf r menjadi gh, misalnya
kata "orang" dibaca menjadi oghang. Sementara itu huruf t sering c, misalnya kata "tiada" dibaca "ciade".
F. KESENIAN
Corak
kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam, namun
telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku. Seni
tari yang terkenal dari Aceh antara lain seudati, seudati inong, dan
seudati tunang. Seni lain yang dikembangkan adalah seni kaligrafi Arab,
seperti yang banyak terlihat pada berbagai ukiran mesjid, rumah adat,
alat upacara, perhiasan, dan sebagainnya. Selain itu berkembang seni
sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam, seperti Hikayat
Perang Sabil.
Bentuk-bentuk
kesenian Aneuk Jamee berasal dari dua budaya yang berasimilasi.. Orang
Aneuk Jamee mengenal kesenian seudati, dabus (dabuih), dan ratoh yang
memadukan unsur tari, musik, dan seni suara. Selain itu dikenal kaba,
yaitu seni bercerita tentang seorang tokoh yang dibumbui dengan dongeng.
Suatu
unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah
kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung
berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tan saman
dan seni teater yang disebut didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi,
bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan,
penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan
dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian
bines, guru didong, dan melengkap (seni berpidato berdasarkan adat),
yang juga tidak terlupakan dari masa ke masa.
G. PERALATAN
Persenjataan
Orang
Aceh terkenal sebagai prajuri-prajurit tangguh penentang penjajah,
dengan bersenjatakan rencong, ruduh (kelewang), keumeurah paneuk (bedil
berlaras pendek), peudang (pedang), dan tameung (tameng).
Senjata-senjata tersebut umumnya dibuat sendiri.
H. SEJARAH
Dalam
abad ke XVI, Aceh memegang peranan yang sangat penting sebagai daerah
transit barang-barang komoditi dari Timur ke Barat. Komoditi dagang dari
nusantara seperti pala dan rempah-rempah dari Pulau Banda, cengkeh dari
Maluku, kapur barus dari Barus dan lada dari Aceh dikumpul disini
menunggu waktu untuk diberangkatkan ke luar negen. Aceh sebagai bandar
paling penting pada waktu itu yang ramai dikunjungi oleh para pedagang
dari berbagai negara.
Aceh
juga dikenal dengan daerah pertama masuknya agama Islam ke nusantara.
Para pedagang dari Saudi Arabia, Turki, Gujarat dan India yang beragama
Islam singgah di Aceh dalam perjalanan mereka mencari berbagai komoditi
dagang dari nusantara. Aceh yang terletak di jalur pelayaran
internasional merupakan daerah pertama yang mereka singgahi di Asia
Tenggara. Kemudian sekitar akhir abad ke XIII di Aceh telah berdiri
sebuah kerajaan besar yaitu Kerajaan Pasai yang bukan saja bandar paling
penting bagi perdagangan, namun juga sebagai pusat penyebaran agama
Islam baik ke Nusantara maupun luar negeri.
Portugis
pertama sekali mendarat di Aceh dalam tahun 1509 mengunjungi Kerajaan
Pedir (Pidie) dan Pasai untuk mencari sutra. Kemudian dalam tahun 1511
Portugis menaklukkan Malaka (sekarang Malaysia) yang menyebabkan Sultan
Aceh marah. Kerajaan Aceh kemudian mengirim armadanya untuk membebaskan
kembali Malaka dari tangan penjajah, namun tidak berhasil dan banyak
tentara Kerajaan Aceh yang gugur dan dikebumikan di sana. Menurut sumber
yang dapat dipercaya Syech Syamsuddin Assumatrani yaitu salah seorang
ulama besar Aceh tewas dalam suatu peperangan dengan Portugis di Malaka
dan kuburannya ada disana. -
Kemudian
pada masa Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636), barulah Malaka bisa
dibebaskan kembali dari cengkraman Portugis dan jalur perdagangan di
Selat Malaka kembali dikuasai oleh Kerajaan Aceh Darussalam. Pada saat
itu Aceh dan Turki telah menjalin hubungan yang erat sehingga banyak
ahli persenjataan dan perkapalan dari Turki datang serta menetap di
Aceh. Bukti sejarah yang masih tersisa adalah mesjid, tugu dan batu
nisan orang Turki yang ada di desa Bitai (± 3 km dari Banda Aceh).
Pada
tanggal 21 Juni 1599 sebuah kapal dagang Belanda yang dipimpin oleh
Cornelis De Houteman dan adiknya Frederick De Houteman mendarat di Aceh.
Namun karena orang Aceh mengira bahwa Belanda tersebut Portugis mereka
menyerang kapal itu dan membunuh Cornelis De Houteman serta menawan
Frederick De Houteman.
Selanjutnya
tahun 1602 sebuah kapal dagang Belanda lain yang dipimpin oleh Gerald
De Roy dikirim ke Aceh oleh Prince Mounsts dalam usaha menjalin hubungan
kerjasama dengan Kerajaan Aceh. Utusan tersebut disambut balk oleh
Sultan Aceh dan menanda tangani hubungan kerjasama itu. Ketika Gerald De
Roy kembali pulang ke Belanda, Sultan Aceh mengirim dua orang duta ke
Belanda. Salah satu dari duta tersebut yaitu Abdul Hamid (sumber lain
menyebutkan Abdul Zamat) meninggal di Belanda dan kuburannya ada di
Middleburg, Belanda.
Pada
awal Juni 1602 saudagar-saudagar Inggris dikirim ke Aceh oleh Ratu
Elizabeth untuk menjalin kerjasama dalam bidang perdagangan. Utusan
tersebut juga disambut baik oleh sultan dan menandatangani hubungan
kerjasama. Hubungan ini terns berlanjut sampai bertahun-tahun kemudian.
Namun
demikian karena keserakahan V.O.C, Belanda memaklumkan perang atas
Kerajaan Aceh Darussalam dan menyerangnya pada tanggal 14 April 1873.
Perang antara Belanda dan Aceh merupakan yang terpanjang dalam sejarah
dunia yaitu lebih kurang 69 tahun (1873 -1942) yang telah menelan jutaan
nyawa.
Pada
tahun 1942 Jepang mendarat di Aceh dan disambut baik oleh orang Aceh
karena pada waktu itu antara Belanda dan Jepang sating bermusuhan, dan
orang Aceh berharap kedatangan Jepang akan membantu mengusir Belanda
dari tanah Aceh. Namun kenyataannya sebaliknya bahwa Jepang lebih ganas
dari Belanda sehingga orang Aceh merasa ditipu oleh Jepang dan
mengangkat senjata memerangi Jepang.
Jepang
berada di Aceh hanya 2,5 tahun, namun banyak pertempuran yang terjadi
antara Aceh dengan Jepang. Diantara sekian banyak perang yang terjadi,
ada dua pertempuran yang sulit untuk dilupakan karena banyaknya korban
jiwa yang berjatuhan yaitu di Pandrah (Aceh Utara) dan di Cot Plieng
(Aceh Utara). Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sedikit banyaknya telah membebaskan Aceh dari belenggu perang yang mengenaskan.
HUBUNGAN SEJARAH ACEH & TIONGKOK
Pembangunan Masjid Raya Baiturrahman dilaksanakan oleh seorang pemborong atau kontraktor Tionghoa yang bernama Lie A Sie Catatan
sejarah tertua dan yang pertama mengenai kerajaan kerajaan di Aceh,
didapati dari sumber-sumber tulisan sejarah Tiongkok. Dalam catatan
sejarah dinasti Liang (506-556), disebutkan adanya suatu kerajaan yang
terletak di Sumatra Utara pada abad ke-6 yang dinamakan Po-Li dan
beragama Budha. Pada abad ke-13 teks-teks Tiongkok (Zhao Ru-gua dalam
bukunya Zhu-fan zhi) menyebutkan Lan-wu-li (Lamuri) di pantai timur
Aceh. Dan pada tahun 1282, diketahui bahwa raja Samudra-Pasai mengirim
dua orang (Sulaiman dan Shamsuddin) utusan ke Tiongkok. Didalam
catatan Ma Huan (Ying-yai sheng-lan) dalam pelayarannya bersama dengan
Laksamana Cheng Ho, dicatat dengan lengkap mengenai kota kota
di Aceh seperti, A-lu (Aru), Su-men-da-la (Samudra), Lan-wu-li
(Lamuri). Dalam catatan Dong-xi-yang- kao (penelitian laut-laut timur
dan barat) yang dikarang oleh Zhang Xie pada tahun 1618, terdapat sebuah
catatan terperinci mengenai Aceh modern.
Samudra-Pasai adalah sebuah kerajaan dan kota pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Timur Tengah, India
sampai Tiongkok pada abad ke 13 -16. Samudra Pasai ini terletak pada
jalur sutera laut yang menghubungi Tiongkok dengan negara-negara Timur
Tengah, dimana para pedagang dari berbagai negara mampir dahulu /transit
sebelum melanjutkan pelayaran ke/dari Tiongkok atau Timur Tengah, India. Kota
Pasai dan Perlak juga pernah disinggahi oleh Marco Polo (abad 13) dan
Ibnu Batuta (abad 14) dalam perjalanannya ke/ dari Tiongkok. Barang
dagangan utama yang paling terkenal dari Pasai ini adalah lada dan
banyak diekspor ke Tiongkok, sebaliknya banyak barang-barang Tiongkok
seperti Sutera, Keramik, dll. diimpor ke Pasai ini. Pada abad ke 15,
armada Cheng Ho juga mampir dalam pelayarannya ke Pasai dan memberikan
Lonceng besar yang tertanggal 1409 (Cakra Donya) kepada raja Pasai pada
waktu itu. Samudra Pasai juga dikenal sebagai salah satu pusat kerajaan Islam (dan Perlak) yang pertama di Indonesia
dan pusat penyebaraan Islam keseluruh Nusantara pada waktu itu.
Ajaran-ajaran Islam ini disebarkan oleh para pedagang dari Arab (Timur
Tengah) atau Gujarat (India), yang singgah atau menetap di Pasai. Dikota
Samudra Pasai ini banyak tinggal komunitas Tionghoa, seperti adanya
"kampung Cina", seperti ditulis dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Jadi jauh
sebelum kerajaan Aceh Darussalam berdiri,komunitas Tionghoa telah
berada di Aceh sejak abad ke-13. Karena Samudra Pasai ini terletak dalam
jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta menjadi pusat
perniagaan internasional, maka berbagai bangsa asing lainnya menetap dan
tinggal disana yang berkarakter kosmopolitan.